Pengantar:
Masih sering kita dengar ungkapan orangtua dan guru tentang anak-anak
dan anak didik mereka yang memperoleh prestasi sekolah tidak sebagaimana yang
diinginkan. Mereka mengeluh mengapa anaknya bodoh sekali. Di lain kesempatan,
orangtua juga mengeluhkan ketika anak-anak atau anak didik mereka melakukan
sesuatu yang tidak biasa. Mereka mengeluh mengapa anak atau anak didiknya suka
berperilaku yang aneh-aneh. Dalam kesempatan ini, akan dibicarakan tentang
kecerdasan ganda anak-anak dan respon yang semestinya dilakukan guru dan
*Orang Tua*
Setiap Anak Cerdas!
Satu keyakinan penting yang perlu dimiliki oleh para guru dan orangtua
tentang anak-anak mereka adalah bahwa setiap anak lahir dengan membawa
potensi. Dengan keyakinan demikian, harapannya akan muncul kesungguhan untuk
lebih peka dan cermat dalam berusaha menemukan serta mengembangkan potensi
yang dimiliki anak-anak.
Sebuah kepastian, bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan segala sesuatu
dengan sia-sia. Apalagi dalam penciptaan makhluk bernama manusia. Kita,
orangtua dan guru, ibarat para pembuat keramik. Dan anak-anak adalah tanah
liatnya. Dia memberi amanah berupa anak-anak pada kita untuk diasuh, dibimbing
dan diarahkan hingga menjadi generasi yang terbaik, sebagai rahmahtan lil alamin.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menemukan potensi yang dimiliki
anak dan apa yang harus dilakukan para orangtua untuk mengoptimalkan karunia
potensi tersebut?
Sebagian orangtua sering mengeluhkan dan merasa bahwa anak mereka
kurang cerdas bahkan termasuk lambat belajar. Standar atau patokan yang
digunakan biasanya berdasarkan prestasi belajar yang didapat di bangku sekolah.
Namun demikian, para orangtua lupa bahwa hampir seluruh aspek yang dinilai
dalam dunia pendidikan kita masih berpusat pada kemampuan kognitif atau
intelektual semata.
Sementara itu, sekitar tahun 1995-an, Daniel Goleman telah mempopulerkan
konsep Emotional Intelligence yang meyakini bahwa kecerdasan emosi (Emotional
Quotient) jauh lebih penting dan terbukti memberi sumbangan yang lebih besar
dalam keberhasilan hidup seseorang dibandingkan kecerdasan intelektual-nya.
Lebih komprehensif, seorang Psikolog dari Harvard University, Howard
Gardner mengungkapkan teorinya tentang multiple intelligence (kecerdasan ganda)
yang dimiliki oleh setiap anak. Menurut Gardner, setiap anak memiliki delapan
jenis kecerdasan yang tersusun menjadi satu dengan cara yang unik dan kombinasi
yang berlainan. Teori Gardner ini menegaskan bahwa kecerdasan yang ada pada
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Kecerdasan Anak*
Anak bukan hanya berkaitan dengan berpikir (kecerdasan logis dan mate-matis), tapi
ada berbagai kecerdasan lain. Sebagai contoh, bisa jadi anak memiliki kecerdasan
berpikir yang biasa saja, namun ia memiliki kelebihan dalam hal kecerdasan
musikal. Anak yang lain mungkin memiliki kecerdasan berpikir biasa saja, namun
ia memiliki kecerdasan kinestetik yang menjadikannya memiliki skill olahrga yang
jauh di atas rata-rata anak yang lain.
Melalui pengetahuan tentang delapan jenis kecerdasan inilah para orangtua
dapat lebih optimis dan bersungguh-sungguh dalam mengenali dan mengoptimalkan
potensi anak-anak mereka.
Berdasarkan teori Gardner, delapan jenis kecerdasan yang ada pada setiap
anak yaitu sebagai berikut :
Pertama: Kecerdasan Linguistik. Adalah kemampuan menggunakan katakata
secara efektif, umumnya berkaitan dengan kemampuan bicara. Pada anak-anak
tampak pada kemampuan baca tulis, bercerita, mengeja kata-kata dengan tepat,
memiliki lebih banyak kosakata untuk anak seusianya, dll.
Cara belajar terbaik untuk anak-anak dengan kecerdasan ini adalah dengan
mengucapkan, mendengar dan melihat kata-kata. Orangtua dapat memotivasinya
dengan menyediakan banyak buku, sering mengajak mereka berbicara, main tebak
kata, bercerita sampai menuangkan ide-ide atau perasaan mereka dalam sebuah
tulisan.
Kedua: Kecerdasan logis matematis. Adalah ketrampilan mengolah angka
dan/atau kemahiran menggunakan logika/akal sehat. Anak-anak dengan kecerdasan
ini mempunyai kemampuan berhitung/aritmatik yang baik (di luar kepala), suka
bertanya dan memahami sebab-akibat, suka permainan strategi (misalnya catur),
senang bereksperimen, dll.
Orangtua sebaiknya lebih sabar dalam ’melayani’ berbagai pertanyaan mereka
dan menyiapkan jawaban yang logis, mengadakan banyak buku tentang
pengetahuan , ensiklopedi, menyediakan alat bermain strategi, mengajarkan metode
sempoa aritmatik,dll.
Ketiga: kecerdasan spasial. Adalah kemampuan memvisualisasikan gambar
yang ada di dalam kepala. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya suka
menggambar/mencorat-coret, senang bermain puzzle, lego atau permainan rancangbangun,
suka melamun/berhayal sesuatu, dan lain-lain.
Orangtua perlu memberi kesempatan yang luas pada anak untuk mengasah
kemampuan gambar/lukis, alat permainan yang sesuai, dan menggunakan media
seperti film, CD, peta, dsj sebagai sarana belajar.
Keempat: kecerdasan kinestetik-jasmani. Adalah kecerdasan yang melibatkan
fisik/tubuh anak, baik motorik halus maupun motorik kasar. Mereka menyukai
aktivitas yang bergerak (berlari, melompat, dll), suka olahraga, bongkar pasang,
ketrampilan dan kerajinan tangan, pandai menirukan gerakan, atau perilaku
oranglain, dll.
Orangtua perlu mendorong/memfasilitasi anak-anak dengan kecerdasan ini
melalui kegiatan yang banyak melibatkan kemampuan fisik/gerak seperti bermain
bola, berenang, bela diri, dst.
Kelima: kecerdasan musikal. Adalah kecerdasan yang melibatkan kepekaan
terhadap irama atau melodi musik, menyanyikan sebuah lagu, memainkan alat
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Musik*
Musik atau sekedar menikmati musik. Dapat dijumpai pada anak yang senang
belajar dengan iringan musik, suara yang bagus, cepat menirukan nada/nyayian, dll.
Orangtua hendaknya cukup memberi kesempatan pada anak untuk bernyanyi
bersama, belajar dengan ketukan/irama, dll.
Keenam: kecerdasan naturalis. Adalah kecerdasan yang melibatkan
kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita, seperti burung, bunga,
pohon, dan flora fauna yang lain. Anak-anak dengan kecerdasan ini termasuk
pencinta alam, suka mengumpulkan bebatuan, akrab dengan hewan peliharaan, suka
berkebun, membawa pulang serangga, dll.
Cara mengajar mereka adalah dengan membawanya ke alam terbuka,
berpetualang, melakukan penelitian, mengamati makhluk hidup, mengunjungi
kebun binatang, dll.
Ketujuh: kecerdasan antarpribadi. Adalah kecerdasan dalam hal memahami
dan berempati serta bekerjasama dengan orang lain. Sering pula disebut kecerdasan
interpersonal. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya mudah bergaul/cepat
beradaptasi, punya banyak teman, suka permainan kelompok, punya bakat
kepemimpinan, dll.
Cara belajar yang tepat bagi mereka memang dengan berkelompok, mengajari
teman-temannya, mengunjungi/bersilaturahmi, dll.
Kedelapan: kecerdasan intra pribadi. Adalah kecerdasan memahami diri
sendiri, mampu menempatkan diri, mengetahui kelemahan dan kekuatan diri dan
pandai mengelola emosi/perasaan. Pada anak-anak, mereka tampak lebih percaya
diri, mampu belajar dari kesalahan, serta tepat dalam mengekspresikan emosinya.
Mereka dapat diberi kepercayaan untuk menetapkan target, memilih kegiatan dan
memotivasi diri sendiri.
Orangtua perlu memberi kepercayaan kepada anak dengan mendukung
kemandirian mereka dalam berpikir dan merencanakan, termasuk menghargai
privasi mereka. Sebagai catatan, istilah kecerdasan intrapribadi dan kecerdasan
antar pribadi dapat disebut dengan kecerdasan emosional.
Selain delapan kecerdasan di atas, ada satu jenis kecerdasan yang belum
diungkap oleh Gardner, namun dapat dijumpai pada anak-anak kita yaitu
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall
(2000) adalah kecerdasan untuk memahami kebermaknaan hidup. Dalam pengertian
yang lebih spesifik, TotoTasmara (2001) memperkenalkan istilah kecerdasan
ruhaniah, yaitu kepekaan seseorang untuk memahami dan meyakini keberadaan
Tuhan serta terlibat dalam aktivitas keruhanian.
Pada anak-anak, potensi kecerdasan spiritual sesungguhnya sangat mudah
untuk diarahkan sejak dini. Sesuai dengan fitrah mereka yang suci, anak-anak
dengan kecerdasan ini lebih mudah untuk menerima konsep-konsep tentang Tuhan
(Allah SWT), pahala, tertarik dengan ilmu agama, suka dengan kegiatan
keagamaan, mampu mengambil pelajaran dari pengalaman, peka terhadap
kesalahan, dan tampak lebih religius untuk anak seusianya.
Hal-hal yang sepatutnya dilakukan orangtua adalah memberi kesempatan,
dukungan dan apresiasi pada anak-anak yang sesuai dengan kemampuan dan
kemauannya (tanpa paksaan dan tekanan). Seperti, mengajak sholat di Masjid,
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Berdoa*
Berdoa bersama untuk memohon sesuatu pada Allah SWT, mengikutkan di TPA,
melatih berpuasa di bulan ramadhan, dll.
Peran Orangtua/lingkungan dalam membentuk kecerdasan ini sangatlah besar.
Karenanya kita patut bersyukur jika memiliki anak dengan kecerdasan spiritual ini.
Mereka sangat berpotensi menjadi anak yang sholih/sholihah, menyukai
kebaikan/kebenaran dan mampu menjadi contoh bagi teman/teman atau
lingkungannya.
Ada ungkapan yang sangat terkenal dari Ali bin Abi Thalib ra: ”Didiklah
anak-anakmu. Sesungguhnya mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman
yang benar-benar berbeda dengan zamanmu.” Ungkapan tersebut mengisyaratkan
pentingnya orangtua dan guru untuk mendidik anak-anak dan anak didik menjadi
pribadi yang kreatif!
Tak dapat disangkal lagi, kreativitas memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Semakin kompleks dan peliknya problem kehidupan di dunia
ini menuntut kita untuk senantiasa mengoptimalkan berbagai potensi yang Allah
berikan. Di antaranya adalah potensi akal untuk dapat berfikir kreatif. Dengan
kreativitas, manusia diharapkan akan mampu memecahkan berbagai persoalan
hidup secara lebih efektif dan efisien.
Menjadi pribadi kreatif tidaklah didapat dengan tiba-tiba ketika seseorang
telah dewasa dan dihadapkan pada aneka permasalahan. Kreativitas memerlukan
proses. Ibarat tanaman, kreativitas pun perlu dipupuk, disiram dan dirawat agar bisa
tumbuh subur. Di sinilah peran para orangtua dan pendidik untuk membantu anakanak
mengoptimalkan potensi kreatif-nya sejak dini sebagai bekal bagi mereka
melalui suatu zaman yang berbeda dari saat sekarang.
Para ahli (Munandar, 1985; Nashori & Mucharam, 2002) mempercayai
bahwa setiap anak itu kreatif. Bila diberikan kepada anak setumpuk buku, maka ia
dapat menjadikannya sebagai gedung, sebagai mobil, sebagai meja, kursi, dan
sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa mereka mampu melihat sesuatu dengan
sudut pandang yang berbeda dengan umumnya orangtua.
Yang patut disayangkan adalah ketika anak-anak tumbuh, kreativitas
mereka itu perlahan menurun. Pendidikan yang menekankan ”hanya ada satu
jawaban yang benar” untuk suatu soal adalah salah satu sistem pendidikan yang
berperanan dalam memangkas atau mengikis potensi kreatif anak. Dalam
kenyataannya, problem kreativitas menjadi banyak. Berikut ini adalah beberapa di
antaranya.
Problem pertama: Penjajahan terselubung. Setiap orangtua pasti
mendambakan masa depan yang gemilang bagi anak-anaknya. Dalam usaha ini,
orangtua melakukan bimbingan, pengarahan dan pembinaan dengan berbagai cara.
Disadari atau tidak, di dalamnya tentu terdapat perintah, larangan bahkan paksaan.
Atas nama kebaikan untuk masa depan mereka, banyak anak di giring, didikte
bahkan disetir untuk mengikuti apa yang ’baik dan benar’ dalam pandangan
orangtua. Orangtua menjadi penguasa penuh yang tak tertandingi. Akhirnya anak
menjadi tertekan sehingga kehilangan kemerdekaan untuk menentukan
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Keinginnan Anak*
Keinginannya sendiri. Alih-alih mencetak generasi yang kreatif, justru inilah awal
petaka munculnya berbagai masalah psikologis pada anak.
Problem kedua: Pengaruh pola asuh. Sampai saat ini belum ada sekolah
khusus untuk menjadi orangtua. Padahal tugas mendidik generasi bukanlah hal yang
mudah.Pola asuh yang diterapkan para orangtua umumnya berasal dari pengalaman
yang dia terima saat menjadi anak-anak di masa lalu.Sementara telah berlalu
rentang yang panjang dan pergantian zaman dari dulu hingga sekarang. Jenis-jenis
pola asuh yang banyak dikenal diantaranya otoriter, protektif, permisif dan
demokratis. Masing-masing pola ini memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Tidak bisa disimpulkan dengan mudah bahwa yang satu lebih baik dari yang lain.
Secara umum, yang perlu ditunjukkan orangtua adalah keluwesan dan ketauladanan
dalam mendampingi putra-putrinya. Perlu diingat bahwa anak-anak belajar lebih
banyak dari tindakan-tindakan kita daripada ucapan-ucapan kita.
Problem ketiga: Kekerasan pada Anak. Tragedi kekerasan pada anak
semakin mencuat pada saat sekarang ini. Berita-berita di media membuat para
orangtua terperangah setengah tidak percaya, bahwa ada orangtua lain yang tega
menganiaya anak kandungnya sendiri secara sadis. Padahal para ahli sudah
menyampaikan, demikian juga fakta menunjukkan bahwa penganiayaan anak (child
abuse) dan penelantaran anak (child neglect) akan sangat berpengaruh negatif
terhadap perkembangan anak di masa yang akan datang. Masa kecil yang tidak
bahagia bahkan penuh trauma akan berdampak sangat kompleks pada perilaku
mereka. Sudah barang tentu anak-anak itu akan kehilangan motivasi dan juga
kesempatan untuk dapat menjadi pribadi yang sehat dan kreatif.
Problem keempat: Sistem pendidikan yang belum kondusif. Menurut
praktisi pendidikan, Seto Mulyadi, anak-anak Indonesia mengalami proses
pemandegan kreativitas setelah mereka mulai mengikuti pendidikan di sekolah
dasar. Ketika berada di bangku sekolah seorang anak dilatih untuk memilih hanya
satu jawaban yang benar atas suatu persoalan. Hal ini menjadikan potensi berpikir
kreatif tidak berkembang optimal. Kondisi lain terkait dengan bobot pelajaran yang
ada di sekolah pada umumnya sangat menekankan pada berfungsinya otak kiri yang
bersifat akademis daripada otak kanan yang bersifat kreatif. Otomatis, anak-anak
tidak terlatih untuk mengaktifkan otak kanannya dalam memecahkan berbagai
persoalan terkait pelajaran di sekolah.
Dukungan dan Hambatan, Berawal dari Rumah
Menyadari urgensi dan manfaat kreativitas, tentu kita ingin agar anak-anak
kita tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang kreatif. Lantas apa yang
diperlukan untuk mencapai harapan tersebut?
Pertama: Memenuhi Kebutuhan Psikis yang utama bagi anak-anak. Setiap
manusia tentu memiliki beragam kebutuhan dalam hidupnya, tak terkecuali anakanak.
Dari sekian banyak kebutuhan yang ada, sekurang-kurangnya ada 3 hal yang
dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi anak-anak dalam mendukung keberhasilan
tumbuh kembang mereka. Kebutuhan tersebut adalah: (1) cinta dan kasih sayang,
(2) perhatian dan (3) rasa aman. Telah banyak teori dan fakta di lapangan yang
membuktikan bahwa tidak terpenuhinya ketiga kebutuhan utama tersebut menjadi
sebab-sebab munculnya permasalahan pada anak-anak. Apabila anak telah
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006